Senin, 25 Februari 2013

psikologi klinis anak dan dewasa

Beberapa universitas di Indonesia membagi dua program psikologi klinis mereka menjadi psikologi klinis anak dan dewasa. Menurut saya, alasan pembagian ini untuk memberikan ilmu yang lebih mendalam dalam masing-masing bidang. Hal ini membuat calon psikolog dapat memilih untuk lebih sering menghadapi klien anak atau orang dewasa, tergantung kenyamanan mereka. Anak-anak dan orang dewasa memiliki banyak sekali perbedaan dalam penanganannya. Hal ini mungkin juga menjadi alasan lain pembagian program tersebut.

Bagi saya, psikologi klinis anak merupakan suatu bidang yang cenderung saya jauhi. Mengapa? Karena saya tidak merasa nyaman menghadapi anak-anak. Saya merasa kesal setiap kali melihat mereka bergerak terlalu aktif kesana-kemari. Saya merasa kesal ketika mereka menangis dan berteriak. Saya adalah seseorang yang hanya mampu mencintai anak saya sendiri atau anak dari keluarga dekat saya. Hal ini menyebabkan saya tidak tertarik sama sekali untuk menjadi psikolog anak. Akan tetapi, tugas Teknik Wawancara kali ini sedikit mengubah pandangan saya mengenai dunia psikologi klinis anak. Perubahan ini tetap saya anggap tidak terlalu besar, hingga membuat saya tertarik untuk menjadi seorang psikolog anak. Namun, saya belajar untuk memandang psikologi klinis anak secara lebih positif.

Wawancara saya dengan seorang psikolog klinis anak, dalam rangka menyelesaikan tugas, cukup menginspirasi saya untuk mengubah pandangan saya. Sejujurnya, hal ini pertama kali saya alami sepanjang perjalanan perkuliahan saya. Menurut beliau, alasan beliau memilih untuk menangani klien anak adalah efek yang diberikan akan jauh lebih banyak. Beliau beranggapan bahwa klien anak yang ditangani sedini mungkin akan memberikan efek positif yang berlangsung jauh lebih lama. Hal ini ada benarnya ketika dibandingkan menghadapi klien lansia yang efek positifnya cenderung berlangsung lebih singkat dibandingkan klien anak. Pernyataan ini cukup menginspirasi saya karena saya tidak pernah berpikir hal seperti ini sebelumnya. Namun, beberapa jam setelah wawancara tersebut, saya merasa bahwa pernyataan ini tidak sepenuhnya benar karena efek positif itu tergantung dari perasaan masing-masing individu. Mungkin saja seorang klien lansia merasakan efek positif yang lebih besar daripada klien anak. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kualitas efek positif klien bisa lebih penting dibandingkan kuantitas berlangsungnya. Namun, kuantitas bukan berarti suatu hal yang bisa dilupakan begitu saja juga. Selain itu, bukankah semua klien memiliki kedudukan yang sama?

Selanjutnya, saya akan bergeser sedikit membahas mengenai psikolog klinis dewasa. Sejujurnya, saya tidak mendapatkan terlalu banyak hal yang benar-benar baru dari presentasi yang saya dengarkan di kelas. Saya sedikitnya sudah tahu seperti apa hal-hal yang mungkin saya hadapi nanti ketika menjadi seorang psikolog klinis dewasa melalui buku yang saya baca dan pengalaman yang sudah dibagikan oleh dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak membahas terlalu banyak mengenai hal ini. Menurut saya, hal yang paling penting yang saya butuhkan adalah pengalaman. Pengalaman untuk menjadi psikolog klinis dewasa tidak mungkin saya dapatkan selama menempuh pendidikan sarajana. Hal tersebut nanti saya dapatkan saat melanjutkan perkuliahan pascasarjana.

Namun, saya tetap menarik suatu pelajaran berharga dari presentasi yang saya dengarkan hari ini yaitu sebagai psikolog, kita harus tahu batasan kita sendiri. Jangan sampai kita merasa kelelahan ketika menghadapi suatu klien karena kita tidak membatasi diri kita dan terus menerus menerima klien. Selain itu, keterampilan-keterampilan seorang psikolog, khususnya wawancara dalam pembahasan ini, hanya dapat diasah melalui pengalaman. Oleh karena itu, jangan pernah menunda untuk melatih keterampilan wawancara kita. Kita perlu ingat bahwa waktu tidak bisa diputar kembali. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari karena kesalahan hari ini.


"You may delay, but time will not."
- Benjamin Franklin -

suatu "masalah" bagi pria

Ukuran penis menjadi salah satu kekhawatiran utama bagi banyak pria. Kekhawatiran ini wajar saja karena penis dianggap sebagai salah satu simbol maskulinitas, bahkan sejak zaman dahulu kala. Penggambaran penis sering terjadi dalam kesenian-kesenian purba. Penis selalu digambarkan dengan ukuran yang besar, mungkin masyarakat purba menganggap bahwa semakin besar penis, maka semakin besar kesuburan yang diberikannya. Pemikiran ini terbawa ke zaman modern dan membuat berbagai masalah dalam kehidupan pria.

Pria yang memiliki penis berukuran "kecil" sering dianggap tidak cukup maskulin, padahal belum tentu demikian. Kekhawatiran pria yang memiliki ukuran penis "kecil" mungkin serupa dengan kekhawatiran wanita yang memiliki ukuran payudara "kecil." Padahal, sebenarnya keduanya bukanlah suatu hal yang patut terlalu dikhawatirkan. Banyak pria berusaha untuk memperbesar penis yang terlihat terlalu "kecil" dengan berbagai  pengobatan, khususnya menggunakan pengobatan alternatif di Indonesia. Padahal, pembesaran penis bisa saja berbahaya bagi seorang pria. Hal ini serupa terjadi pada kaum wanita yang berusaha memperbesar payudaranya dengan menggunakan operasi plastik atau suntik silikon, padahal keduanya yang memiliki resiko tersendiri.

Menurut Zoya Amirin, M.Psi., ukuran penis pria tidak akan mempengaruhi terlalu banyak performa seksnya, kecuali jika penis tersebut memang terlalu kecil karena mengalami gangguan medis tertentu. Hal ini dapat dikonsultasi dengan dokter yang memang ahli dalam bidang reproduksi. Kekerasan penis menjadi faktor yang lebih penting dalam performa seks seseorang. Selain itu, beliau menambahkan bahwa sebenarnya letak g-spot dekat dengan mulut vagina, sehingga tidak perlu mempunyai ukuran penis sangat "panjang" untuk mencapainya.

Sebenarnya, penis yang terlalu besar bisa saja menyebabkan ketidaknyamanan bagi wanita saat berhubungan seksual. Vagina suatu organ yang elastis, tetapi mempunyai batasan tertentu. Sehingga, pria yang memiliki penis terlalu "besar" juga mempunyai permasalahan tersendiri. Akan tetapi, pemikiran bahwa penis yang "besar" adalah simbol keperkasaan merupakan suatu pemikiran yang sulit hilang begitu saja. Sebenarnya, masalah ini bisa saja dipandang sama dengan wanita yang menginginkan payudara yang berukuran "besar", suatu hal yang tidak terlalu vital, tetapi dianggap sebagai suatu hal yang sangat vital.

Pendidikan seks bagi pasangan yang sudah menikah sangat penting untuk menghilangkan mitos "ukuran penis terkait dengan kepuasan seksual" karena hal yang lebih penting adalah rasa cinta terhadap pasangan. Selain itu, variasi teknik seksual dapat digunakan untuk memberi warna dalam kehidupan seksual pasangan. Jadi jangan pernah ambil resiko untuk suatu hal yang belum jelas, khususnya pengobatan alternatif yang memang tidak ada bukti ilmiah. Jangan sampai datang ingin untung, pulang-pulang "buntung." Stay safe guys :)


The most important aspect of sex is love. You will still probably enjoy sex without love, but not as enjoyable as sex with affection to your spouse.

Selasa, 19 Februari 2013

rasa penasaran memulai segalanya

Sebelum mulai menulis tulisan ini, saya sempat membaca beberapa tulisan dari rekan-rekan saya dari kelas Perilaku Seksual. Pada umumnya, mereka membahas mengenai cinta dan keintiman. Bagi saya membicarakan cinta dan keintiman adalah sesuatu yang sangat aneh. Dalam diri saya akan selalu muncul perasaan yang geli yang sulit untuk saya jelaskan ketika membahas mengenai hal tersebut. Akan tetapi, bukan berarti saya adalah orang yang tidak dapat merasakan cinta dan keintiman. Namun, saya merasa "bukan saya banget", ketika membahas topik mengenai cinta. Apa alasannya? Mungkin saja saya adalah seorang individu yang memilih untuk merasakan cinta tanpa perlu menuangkan makna cinta tersebut dalam suatu tulisan.

Hal ini menyebabkan saya memutuskan untuk melawan mainstream dan membahas mengenai suatu topik lainnya yaitu seks dan pendidikan seks.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Manusia adalah makhluk seksual dan kita tidak bisa menyangkal kenyataan ini.

Manusia selalu merasa penasaran mengenai seks, tetapi pada saat yang bersamaan kita merasa tidak nyaman membicarakannya. Akan tetapi, pada saat ini, banyak sekali remaja Indonesia sudah pernah melakukan hubungan seksual, bahkan ada yang melakukannya secara rutin. Rasa penasaran membuat banyak remaja mulai mencoba melakukan hubungan seksual. Mereka memperoleh gambaran mengenai hubungan seksual melalui pornografi. Mereka ingin sangat penasaran terhadap sensasi yang dialami oleh para aktor dan aktris tersebut. Mereka ingin mencoba merasakan sensasi tersebut pada dunia nyata. Banyak remaja lainnya mendapat dorongan dari teman-teman sebayanya yang sudah berhubungan seksual secara rutin. Cerita-cerita dan mitos-mitos dari teman-teman sebaya tentu semakin menambah rasa penasaran dan juga keberanian mereka untuk melakukan hubungan seksual.

Rasa penasaran pun semakin bertambah ketika minimnya informasi mengenai seksualitas di sekitar mereka. Internet menjadi salah satu sumber informasi mengenai seksualitas bagi remaja. Akan tetapi, tidak semua informasi dari Internet itu adalah fakta, bahkan ada beberapa informasi yang cenderung menyesatkan. Orangtua yang merasa tidak nyaman membicarakan seksualitas dengan remaja sehingga tidak dapat diandalkan menjadi sumber informasi. Banyak orangtua merasa takut setelah membicarakan seksualitas dengan remaja, remaja tersebut akan menjadi terlalu aktif secara seksual. Padahal, banyak remaja berani melakukan hubungan seksual karena mereka tidak mengetahui resiko dari hubungan seksual tersebut. Tidak bisa dipungkiri memang ada remaja yang tetap berani melakukan hubungan seksual, meskipun mengetahui resiko-resikonya. Namun, menurut pandangan saya, lebih banyak lagi remaja yang tidak mengetahui resiko-resiko yang mengintai mereka. Sehingga, pemberian pendidikan seks kepada remaja sangat penting, diharapkan setelah memahami resiko-resikonya mereka dapat menunda hubungan seksual dan baru melakukannya setelah menikah.

Pendidikan seks pun suatu kontroversi tersendiri, salah satu pertanyaan terbesar adalah pendidikan seks seperti apa yang harus diberikan. Menurut Zoya Amirin, M.Psi., perkembangan seksual seseorang harus disesuaikan dengan usianya. Misalnya, remaja yang aktif berhubungan seksual layaknya suami-istri adalah perkembangan yang bermasalah. Mereka tentu tidak siap dengan resiko terjadinya kehamilan. Kehadiran bayi pada masa remaja akan menimbulkan masalah yang sangat banyak dalam kehidupan mereka. Selain itu, anak yang mengalami pemerkosaan pun juga akan mengalami perkembangan yang bermasalah. Alat reproduksi mereka masih belum berfungsi dengan baik dan timbulnya trauma bagi mereka dapat mempengaruhi keadaan psikologis korban. Hal ini membuat saya menarik simpulan bahwa pendidikan seksual yang baik sebaiknya mendorong perkembangan seksual yang lebih sehat bagi manusia. Ketika sudah terlanjur bermasalah diharapkan perkembangannya dapat terarah ke arah yang lebih sehat kembali.

Selanjutnya, menurut Henny E. Wirawan, M.Hum., Psi., pendidikan seks sebenarnya bisa mulai diberikan sedini mungkin tentu dimulai dari hal-hal kecil, misalnya mengajarkan anak untuk berpakaian terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar mandi. Beliau juga menambahkan pendidikan seks terbaik berasal dari orangtua. Hal yang mengkhawatirkan ketika anak  memperoleh informasi yang salah dari orang yang salah pula. Istilah bisa karena biasa mungkin juga berperan dalam pendidikan seks. Jika anak sudah terbiasa berbicara mengenai seksualitas dengan orangtuanya, maka mereka pun bisa dengan nyaman bertanya mengenai seksualitas dengan orangtuanya. Misalnya, anak bisa saja dapat dengan nyaman bercerita mengenai teman-temannya yang sudah aktif berhubungan seksual. Anak tersebut juga dapat menyatakan rasa penasarannya mengenai hal tersebut. Orangtua dapat dengan mudah mencegah anak tersebut untuk melakukan hubungan seksual pranikah dengan menjelaskan resiko-resikonya. Namun, yang umumnya terjadi adalah ketika anak menghadapi suatu masalah terkait dengan seksualitas, anak jarang membicarakannya dengan orangtua. Mereka merasa malu dan tidak nyaman membicarakan seksualitas dengan orangtua. Mereka akan biasanya bertanya kepada teman-teman sebayanya atau mencari informasi melalui Internet yang belum tentu memberikan benar. Hal ini bisa saja berujung ke hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya hubungan seks pranikah.

Simpulannya, orangtua tidak perlu malu lagi untuk berdiskusi dengan anaknya mengenai seksualitas karena seksualitas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. Orangtua tidak perlu malu bertanya terhadap ahli yang benar-benar memahami tentang seksualitas ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup. Ahli tersebut dapat membantu orangtua untuk mengetahui apa yang sebaiknya diajarkan terhadap anak sesuai dengan usianya dan bagaimana menjawab pertanyaan dengan lebih baik. Sehingga, tidak ada alasan lagi untuk menunda pendidikan seks terhadap anak sedini mungkin karena perkembangan seksualitas anak sama pentingnya dengan perkembangan lain mereka.






Seksualitas ketika dibicarakan dengan terhormat dan pantas bukanlah sesuatu hal yang memalukan, tetapi hal penting yang perlu dipahami oleh semua manusia.
Penulis