Minggu, 14 Oktober 2012

Hubungan Seksual antara Psikolog dan Klien (Tugas Kode Etik Psikologi)


BAB I
LATAR BELAKANG

Hubungan antara psikolog dan klien merupakan aspek penting dalam proses konseling dan psikoterapi. Menurut Morrison-Valfre (2009), kemampuan klien untuk mempercayai orang lain sangat penting dalam terapi. Hal ini menyebabkan umumnya setiap tindakan terapeutik bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan. Akan tetapi, kadang-kadang kepercayaan yang terbangun antara psikolog dan klien yang memiliki tujuan positif dapat menjadi masalah. Hal ini terjadi ketika seorang psikolog melangkah terlalu jauh sehingga menyebabkan hubungan profesional menjadi hubungan seksual.
Sudah banyak pemberitaan, yang muncul di media cetak dan elektronik, mengenai psikolog klinis yang berhubungan seksual dengan kliennya. BBC News (2000) memberitakan bahwa seorang psikolog, yang sudah menikah, berhubungan seksual dengan klien wanitanya yang datang dengan tujuan untuk melakukan konseling. Kasus ini menyebabkan psikolog tersebut dikeluarkan dari British Psychological Society (BPS). Psikolog yang bernama tersebut Timothy Naylor dianggap melakukan pelanggaran kode etik profesi. Menurut Patricia Hitchcock, juru bicara BPS, menjelaskan bahwa hubungan personal muncul setelah sesi terapi dan berujung pada seks tanpa proteksi. Selain itu, Naylor juga meminta wanita tersebut untuk tidak menceritakan hal ini kepada terapis sebelumnya atau orang lain. Apabila wanita tersebut menceritakan hal ini, wanita tersebut bisa saja kehilangan pekerjaan dan hak asuh anaknya.
Brazas dari Lawyers.com (n.d.) juga memberitakan kasus serupa yaitu seorang psikolog asal Tampa, Florida, lisensinya dicabut setelah terbukti melakukan hubungan seksual dengan seorang kliennya. Selain itu, psikolog tersebut meminta perusahaan asuransi kliennya untuk membayar sejumlah 1.400 dollar Amerika untuk konsultasi “khusus” yang ternyata adalah pertemuan seksual psikolog dengan kliennya. Penahanan lisensi psikolog tersebut segera dilakukan setelah insiden itu diketahui. Psikolog tersebut memulai konseling dengan seorang wanita dan suaminya. Setelah perceraian wanita tersebut dengan suaminya, wanita tersebut kembali menemui psikolog tersebut untuk terapi. Tak lama kemudian, hubungan seksual antara psikolog dan wanita tersebut terjadi.
Menurut Pope (dalam Bersoff, 1999), dual relationship (hubungan majemuk) dalam psikoterapi terjadi ketika seorang terapis berada dalam suatu hubungan signifikan yang berbeda dengan kliennya. Umumnya hubungan yang terbentuk karena faktor sosial, finansial, atau profesional. Hubungan majemuk terkadang terjadi dalam bentuk hubungan seksual yang dianggap penting. Hubungan seksual antara terapis dan kliennya dianggap dapat menghangatkan hubungan, meningkatkan sense-of-acceptance, mengembangkan pandangan seksualitas yang lebih sehat, memulihkan klien dari disfungsi seksual karena trauma, dan alasan-alasan lainnya.
Hubungan seksual dikhawatirkan merupakan bentuk eksploitasi kekuasaan antara psikolog terhadap kliennya. Durasi psikoterapi yang lama merupakan salah satu faktor terjadinya eksploitasi kekuasaan (Gottlieb dalam Bersoff, 1999). Selain itu, tidak ada studi yang membuktikan efek positif hubungan majemuk tersebut (Pope dalam Bersoff, 1999). Akan tetapi, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap terapis (termasuk di dalamnya psikolog) menunjukkan bahwa sebanyak 4 persen terapis di Inggris melakukan hubungan seksual dengan kliennya saat proses terapi atau sesudahnya (Garrett, 1998). Selanjutnya, sebanyak 22,7 persen terapis melaporkan pernah menangani kasus klien yang melakukan hubungan seksual dengan terapis sebelumnya. Survei ini menandakan bahwa tidak sedikit psikolog yang mempercayai efek positif dari hubungan seksual antara psikolog dan kliennya. Kedua fakta ini menyebabkan fenomena ini tentu menjadi suatu perdebatan tersendiri di dunia psikologi.
Penulis berharap melalui karya tulis ini dapat menggambarkan mengenai pandangan kode etik psikologi Indonesia terhadap fenomena ini. Selanjutnya, karya tulis ini mampu memberikan saran yang sesuai degan kode etik psikologi Indonesia dalam mengatasi masalah ini. Penulis berharap karya tulis ini mampu memberikan sumbangan terhadap perkembangan kode etik psikologi di Indonesia.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Perlindungan Klien dari Bahaya
Menurut Morrison-Valfre (2009), dalam praktik perawatan kesehatan mental, salah satu prinsip terpenting adalah klien tidak mengalami bahaya. Pemberi jasa dari berbagai latar harus bertanggung jawab untuk melindungi kliennya, tetapi bagi perawat yang bekerja untuk klien kesehatan mental, prinsip ini sangat penting. Jika prinsip ini dilupakan, maka klien yang seharusnya dilindungi akan berada dalam bahaya. Berdasarkan Pasal 13, Kode Etik Psikologi Indonesia (dalam Juneman, 2011), seorang psikolog harus melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya. Bahkan, penghindaran dampak buruk juga kembali ditegaskan pada Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 15.

2.2 Hubungan Majemuk
Menurut Pope (dalam Bersoff, 1999), hubungan majemuk dalam psikoterapi terjadi ketika terapis mempunyai hubungan signifikan lain yang berbeda dengan pasiennya. Umumnya hubungan tersebut bersifat sosial, finansial, atau profesional. Misalnya, psikolog dan klien merupakan atasan dan bawahan. Hubungan majemuk dapat menimbulkan suatu konflik, misalnya, ketika klien merupakan seseorang yang psikolog kenal, bisa saja klien merasa malu untuk terbuka terhadap psikolog tersebut karena takut dijauhi oleh psikolog.
Hubungan majemuk tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalkan denggan cara selective inattention, misalnya ketika melakukan praktik, psikolog berusaha untuk tidak melihat hubungan lain antara psikolog tersebut dengan kliennya (Pope dalam Bersoff, 1999). Namun, terkadang hubungan majemuk dianggap sesuatu yang benar ketika terlihat mempunyai “efek positif”, misalnya hubungan seksual. Hubungan seksual dianggap meningkatkan kehangatan hubungan antara psikolog dengan kliennya dan meningkatkan perasaan diterima klien, meskipun sampai saat ini tidak ada penelitian atau data statistik yang signifikan yang menunjukkan efek positif hubungan tersebut. Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 16 (dalam Juneman 2011) menjelaskan bahwa hubungan majemuk sedapat mungkin dihindari jika dapat menganggu objektifitas atau memunculkan eksploitasi atau dampak negatif.

2.3 Pelecehan Seksual
Menurut Lahey (2012), pelecehan seksual adalah permintaan, komentar, atau perilaku seksual koersif lainnya. Bentuk pelecehan seksual, misalnya, pendekatan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk berhubungan seksual, sentuhan di kaki, payudara, atau paha yang tidak diinginkan, dan lain-lain. Komponen utama dalam pelecehan seksual adalah terjadi pada orang yang memiliki kekuasaan yang berbeda. Korban pelecehan seksual umumnya merasa tidak nyaman dan tenang pada pekerjaan atau sekolahnya. Bahkan, pelecehan seksual dapat menyebabkan kecemasan dan depresi.
Lahey (2012) juga menegaskan bahwa terapis tidak diperkenankan untuk memanfaatkan hubungan intens dengan klien hubungan seksual. Keintiman romantis atau seksual dengan klien merupakan hal yang terlarang, bahkan dengan mantan klien. Pelecehan seksual terhadap klien adalah suatu hal yang terlarang. Berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 14 (dalam Juneman, 2011), pelecehan seksual yang dilakukan oleh psikolog merupakan suatu hal yang terlarang karena dapat mengakibatkan efek negatif.

BAB III
PEMBAHASAN

Hubungan seksual antara psikolog dan klien jelas-jelas merupakan hal yang terlarang berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 14 (dalam Juneman, 2011). Penulis meyakini hal ini terkait dengan efek negatif yang bisa saja ditimbulkan oleh hubungan seksual. Menurut Lahey (2012), korban pelecehan seksual dapat mengalami kecemasan dan depresi. Suatu efek negatif yang tidak diharapkan terjadi setelah kegiatan psikoterapi. Hal ini terkait dengan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 13 dan 15 (dalam Juneman, 2011), bahwa seorang psikolog harus bertanggung jawab untuk menghindarkan klien dari bahaya. Hal ini sesuai dengan pandangan Morrison-Valfre (2009) bahwa psikolog bertanggung jawab terhadap klien. Efek negatif hubungan seksual bisa saja tetap terjadi, meskipun hubungan terjadi dengan landasan “suka-sama-suka”. Seorang psikolog harus meminimalkan efek negatif, bahkan ketika kemungkinannya sangat kecil. Penulis juga melihat bahwa terjadi suatu bentuk “ancaman” terhadap klien di kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh psikolog Timothy Naylor di Inggris. Klien diminta untuk tidak memberitahukan hubungan seksual yang terjadi karena bisa saja klien kehilangan pekerjaan atau hak asuh anaknya. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 13 dan 15 (dalam Juneman, 2011), subjek bisa saja merasakan kecemasan karena kata-kata psikolog tersebut. Kecemasan timbul karena klien tersebut merasa takut akan efek negatif bocornya rahasia tersebut.
Berdasarkan pandangan Pope (dalam Bersoff, 1999), dalam hubungan seksual antara psikolog dan klien, suatu hubungan lain terbentuk yaitu antara psikolog dan teman berhubungan seks. Berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 16 (dalam Juneman 2011), psikolog harus menghindari hubungan majemuk yang menyebabkan munculnya ekploitasi atau efek negatif. Hubungan majemuk berupakan hubungan seksual merupakan hubungan majemuk yang dapat menimbulkan efek negatif. Berdasarkan pandangan Lahey (2012), pelecehan seksual dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, selain itu dapat mengarah kepada kecemasan dan depresi. Selain itu, pelecehan seksual dalam psikoterapi juga merupakan bentuk eksploitasi kekuasaan. Psikolog yang memiliki hubungan intens dengan kliennya sehingga menyebabkan klien percaya dengan segala tindakan psikolog. Meskipun tidak tergambar dengan jelas penyebabnya, contoh kasus yang dijelaskan di latar belakang bisa saja tidak ditimbulkan oleh perasaan “suka-sama-suka” melainkan karena bentuk eksplotasi kekuasaan.
Tidak sedikit psikolog yang menilai bahwa hubungan seksual antara psikolog dan klien memiliki efek-efek positif (Pope dalam Bersoff, 1999). Akan tetapi, menurut Pope, tidak ada penelitian dan data statistik yang signifikan yang menunjukkan bahwa hubungan seksual antara klien dan mempunyai efek positif. Hal ini juga melanggar Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 2 (dalam Juneman, 2011) bahwa seorang psikolog harus bertindak berdasarkan pengetahuan yang diyakini benar oleh komunitas psikologi. Jika tidak pernah ada penelitian dan data statistik yang signifikan, maka suatu pandangan atau pendapat bisa saja suatu hal yang salah. Sehingga, pandangan yang menyatakan bahwa hubungan seksual antara psikolog dan klien memiliki efek-efek positif merupakan hal yang salah karena tidak terbukti melalui penelitian. Psikolog yang melakukan hubungan seksual dengan klien secara otomatis melakukan tindakan yang tidak berdasarkan kebenaran komunitas psikologi. Hal ini bisa saja menimbulkan efek negatif, bukan efek positif karena tidak ada pernah penelitian yang dilakukan. Penulis menilai bahwa keberadaan penelitian untuk mencegah terjadinya efek negatif karena kebenaran yang salah. Selain itu, pada salah satu contoh kasus, psikolog tersebut berusaha meminta perusahaan asuransi klien membayar salah satu pertemuan seksual antara psikolog dan klien tersebut, hal ini merupakan bentuk penipuan. Berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia (dalam Juneman, 2011), kode etik psikologi Indonesia tidak bertentangan dengan hukum negara Indonesia. Oleh karena itu, psikolog Indonesia tetap harus mematuhi hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Kasus ini tentu merupakan suatu bentuk kode etik psikologi dan juga hukum di Indonesia
Hal ini menyebabkan penulis mencapai suatu kesimpulan bahwa hubungan seksual pada psikoterapi merupakan pelanggaran kode etik psikologi Indonesia. Seorang psikolog wajib untuk melindungi kliennya dari segala ancaman, salah satunya adalah ancaman pelecehan seksual oleh psikolognya. Meskipun kemungkinan munculnya kecil, pelecehan seksual tetap tidak diperkenankan. Sekecil apapun suatu resiko, resiko tetaplah sebuah resiko sehingga lebih baik dihindari. Oleh karena itu, hubungan seksual dalam psikoterapi harus dihindari demi menjaga profesionalitas profesi psikolog.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
Hubungan seksual antara psikolog dan klien merupakan suatu hubungan majemuk yang dihindari karena terbukti memiliki kemungkinan untuk menimbulkan dampak negatif terhadap klien. Seorang psikolog harus melindungi klien dari ancaman dan harus meminimalkan ancaman itu. Hal ini dilakukan dengan cara psikolog menghindari hubungan seksual dengan klien. Hubungan seksual tetap harus dihindari, meskipun hubungan terjadi karena perasaan “suka-sama-suka”. Ancaman tetap saja bisa terjadi meskipun dengan kemungkinan lebih kecil. Selain itu, hubungan seksual antara psikolog dan klien tidak didukung oleh kebenaran komunitas psikolog yang diperoleh melalui penelitian. Penulis menyimpulkan bahwa hubungan seksual antara psikolog dan klien melanggar kode etik psikologi Indonesia.

4.2 Saran
Menurut pandangan Pope (dalam Garrett, 1998), ketertarikan seksual psikolog terhadap klien tidak dapat dihindari. Namun, alangkah baiknya jika ketertarikan seksual tetap menjadi ketertarikan semata dan tidak berakhir menjadi hubungan seksual. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan serta menempatkan seorang sekretaris sebagai pengawas untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, psikolog harus memiliki self-control yang baik yang diperoleh melalui pemikiran positif.
Klien disarankan untuk berpakaian dengan pantas untuk menghindari pendekatan seksual yang tidak diinginkan dari psikolog. Klien juga harus belajar untuk tegas menolak hubungan seksual. Jika psikolog mulai berperilaku mencurigakan, maka klien bisa saja memutuskan untuk berpindah ke psikolog lainnya. Namun, tidak sedikit klien yang merasa kebingungan terhadap gangguan yang dialaminya untuk merasa pasrah kepada keputusan psikolog. Jika terjadi hal seperti ini, maka eksploitasi klien oleh psikolog “nakal” akan sulit untuk dihindari.
Klien yang menjadi korban pelecehan seksual oleh psikolog harus segera melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib dan kepada HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Hal ini bertujuan untuk adanya tindakan lebih lanjut dari kedua organisasi tersebut. Melaporkan kasus seperti ini memang merupakan hal yang memalukan. Namun, pelaporan kasus tetap disarankan untuk dilakukan karena adanya tindakan lebih lanjut dari kedua organisasi tersebut dapat mengurangi efek negatif yang dialami oleh korban pelecehan seksual.

DAFTAR PUSTAKA

BBC News. (2000, Oktober 25). Psychologist sex case raises regulation concern. Diunduh tanggal 7 Oktober 2012 dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/ health/990637.stm
Bersoff, D.N. (1999). Ethical conflicts in psychology (2nd ed.). Washington, DC: American Psychological Association.
Brazas, S.M. (n.d.). Psychologist’s sexual misconduct may involve billing. Lawyers.com. Diunduh tanggal 7 Oktober 2012 dari http://medical-malpractice.lawyers.com/Psychologists-Sexual-Misconduct-May-Involve-Billing.html
Garrett, T. (1998). Sexual contacts between patients and psychologists. The Psychologist. Diunduh www.thepsychologist.org.uk/.../thepsychologist%5C sexual.pdf
Juneman. (2011, April 23). Kode etik psikologi Indonesia (terbaru) – HIMPSI, 2010 [Web log post]. Diunduh tanggal 7 Oktober 2012 dari http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/04/23/kode-etik-psikologi-indonesia-terbaru-himpsi-2010/
Lahey, B.B. (2012). Psychology an introduction (11th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Morrison-Valfe, M. (2009). Foundations of mental health care (4th ed.). St. Louis, MS: Mosby.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar