BAB
I
LATAR
BELAKANG
Hubungan antara psikolog
dan klien merupakan aspek penting dalam proses konseling dan psikoterapi.
Menurut Morrison-Valfre (2009), kemampuan klien untuk mempercayai orang lain
sangat penting dalam terapi. Hal ini menyebabkan umumnya setiap tindakan
terapeutik bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan. Akan tetapi, kadang-kadang
kepercayaan yang terbangun antara psikolog dan klien yang memiliki tujuan
positif dapat menjadi masalah. Hal ini terjadi ketika seorang psikolog
melangkah terlalu jauh sehingga menyebabkan hubungan profesional menjadi
hubungan seksual.
Sudah banyak pemberitaan,
yang muncul di media cetak dan elektronik, mengenai psikolog klinis yang
berhubungan seksual dengan kliennya. BBC News (2000) memberitakan bahwa seorang
psikolog, yang sudah menikah, berhubungan seksual dengan klien wanitanya yang datang
dengan tujuan untuk melakukan konseling. Kasus ini menyebabkan psikolog
tersebut dikeluarkan dari British
Psychological Society (BPS). Psikolog yang bernama tersebut Timothy Naylor
dianggap melakukan pelanggaran kode etik profesi. Menurut Patricia Hitchcock,
juru bicara BPS, menjelaskan bahwa hubungan personal muncul setelah sesi terapi
dan berujung pada seks tanpa proteksi. Selain itu, Naylor juga meminta wanita
tersebut untuk tidak menceritakan hal ini kepada terapis sebelumnya atau orang
lain. Apabila wanita tersebut menceritakan hal ini, wanita tersebut bisa saja
kehilangan pekerjaan dan hak asuh anaknya.
Brazas dari Lawyers.com
(n.d.) juga memberitakan kasus serupa yaitu seorang psikolog asal Tampa,
Florida, lisensinya dicabut setelah terbukti melakukan hubungan seksual dengan
seorang kliennya. Selain itu, psikolog tersebut meminta perusahaan asuransi
kliennya untuk membayar sejumlah 1.400 dollar Amerika untuk konsultasi “khusus”
yang ternyata adalah pertemuan seksual psikolog dengan kliennya. Penahanan
lisensi psikolog tersebut segera dilakukan setelah insiden itu diketahui.
Psikolog tersebut memulai konseling dengan seorang wanita dan suaminya. Setelah
perceraian wanita tersebut dengan suaminya, wanita tersebut kembali menemui
psikolog tersebut untuk terapi. Tak lama kemudian, hubungan seksual antara
psikolog dan wanita tersebut terjadi.
Menurut Pope (dalam
Bersoff, 1999), dual relationship
(hubungan majemuk) dalam psikoterapi terjadi ketika seorang terapis berada
dalam suatu hubungan signifikan yang berbeda dengan kliennya. Umumnya hubungan
yang terbentuk karena faktor sosial, finansial, atau profesional. Hubungan
majemuk terkadang terjadi dalam bentuk hubungan seksual yang dianggap penting. Hubungan
seksual antara terapis dan kliennya dianggap dapat menghangatkan hubungan,
meningkatkan sense-of-acceptance, mengembangkan
pandangan seksualitas yang lebih sehat, memulihkan klien dari disfungsi seksual
karena trauma, dan alasan-alasan lainnya.
Hubungan seksual
dikhawatirkan merupakan bentuk eksploitasi kekuasaan antara psikolog terhadap
kliennya. Durasi psikoterapi yang lama merupakan salah satu faktor terjadinya
eksploitasi kekuasaan (Gottlieb dalam Bersoff, 1999). Selain itu, tidak ada
studi yang membuktikan efek positif hubungan majemuk tersebut (Pope dalam
Bersoff, 1999). Akan tetapi, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap terapis
(termasuk di dalamnya psikolog) menunjukkan bahwa sebanyak 4 persen terapis di
Inggris melakukan hubungan seksual dengan kliennya saat proses terapi atau
sesudahnya (Garrett, 1998). Selanjutnya, sebanyak 22,7 persen terapis
melaporkan pernah menangani kasus klien yang melakukan hubungan seksual dengan
terapis sebelumnya. Survei ini menandakan bahwa tidak sedikit psikolog yang
mempercayai efek positif dari hubungan seksual antara psikolog dan kliennya.
Kedua fakta ini menyebabkan fenomena ini tentu menjadi suatu perdebatan
tersendiri di dunia psikologi.
Penulis berharap melalui
karya tulis ini dapat menggambarkan mengenai pandangan kode etik psikologi
Indonesia terhadap fenomena ini. Selanjutnya, karya tulis ini mampu memberikan saran
yang sesuai degan kode etik psikologi Indonesia dalam mengatasi masalah ini.
Penulis berharap karya tulis ini mampu memberikan sumbangan terhadap
perkembangan kode etik psikologi di Indonesia.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
Perlindungan Klien dari Bahaya
Menurut Morrison-Valfre
(2009), dalam praktik perawatan kesehatan mental, salah satu prinsip terpenting
adalah klien tidak mengalami bahaya. Pemberi jasa dari berbagai latar harus
bertanggung jawab untuk melindungi kliennya, tetapi bagi perawat yang bekerja
untuk klien kesehatan mental, prinsip ini sangat penting. Jika prinsip ini
dilupakan, maka klien yang seharusnya dilindungi akan berada dalam bahaya.
Berdasarkan Pasal 13, Kode Etik Psikologi Indonesia (dalam Juneman, 2011), seorang psikolog harus melindungi pemakai layanan psikologi
dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya.
Bahkan, penghindaran dampak buruk juga kembali ditegaskan pada Kode Etik Psikologi
Indonesia Pasal 15.
2.2
Hubungan Majemuk
Menurut Pope (dalam
Bersoff, 1999), hubungan majemuk dalam psikoterapi terjadi ketika terapis
mempunyai hubungan signifikan lain yang berbeda dengan pasiennya. Umumnya
hubungan tersebut bersifat sosial, finansial, atau profesional. Misalnya,
psikolog dan klien merupakan atasan dan bawahan. Hubungan majemuk dapat
menimbulkan suatu konflik, misalnya, ketika klien merupakan seseorang yang
psikolog kenal, bisa saja klien merasa malu untuk terbuka terhadap psikolog tersebut
karena takut dijauhi oleh psikolog.
Hubungan majemuk tidak
dapat dihindari, namun dapat diminimalkan denggan cara selective inattention, misalnya ketika melakukan praktik, psikolog
berusaha untuk tidak melihat hubungan lain antara psikolog tersebut dengan
kliennya (Pope dalam Bersoff, 1999). Namun, terkadang hubungan majemuk dianggap
sesuatu yang benar ketika terlihat mempunyai “efek positif”, misalnya hubungan
seksual. Hubungan seksual dianggap meningkatkan kehangatan hubungan antara
psikolog dengan kliennya dan meningkatkan perasaan diterima klien, meskipun
sampai saat ini tidak ada penelitian atau data statistik yang signifikan yang
menunjukkan efek positif hubungan tersebut. Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal
16 (dalam Juneman 2011) menjelaskan bahwa hubungan majemuk sedapat mungkin
dihindari jika dapat menganggu objektifitas atau memunculkan eksploitasi atau
dampak negatif.
2.3
Pelecehan Seksual
Menurut Lahey (2012),
pelecehan seksual adalah permintaan, komentar, atau perilaku seksual koersif lainnya.
Bentuk pelecehan seksual, misalnya, pendekatan seksual yang tidak diinginkan,
permintaan untuk berhubungan seksual, sentuhan di kaki, payudara, atau paha
yang tidak diinginkan, dan lain-lain. Komponen utama dalam pelecehan seksual
adalah terjadi pada orang yang memiliki kekuasaan yang berbeda. Korban
pelecehan seksual umumnya merasa tidak nyaman dan tenang pada pekerjaan atau
sekolahnya. Bahkan, pelecehan seksual dapat menyebabkan kecemasan dan depresi.
Lahey (2012) juga
menegaskan bahwa terapis tidak diperkenankan untuk memanfaatkan hubungan intens
dengan klien hubungan seksual. Keintiman romantis atau seksual dengan klien
merupakan hal yang terlarang, bahkan dengan mantan klien. Pelecehan seksual
terhadap klien adalah suatu hal yang terlarang. Berdasarkan Kode Etik Psikologi
Indonesia Pasal 14 (dalam Juneman, 2011), pelecehan seksual yang dilakukan oleh
psikolog merupakan suatu hal yang terlarang karena dapat mengakibatkan efek
negatif.
BAB
III
PEMBAHASAN
Hubungan seksual antara
psikolog dan klien jelas-jelas merupakan hal yang terlarang berdasarkan Kode
Etik Psikologi Indonesia Pasal 14 (dalam Juneman, 2011). Penulis meyakini hal
ini terkait dengan efek negatif yang bisa saja ditimbulkan oleh hubungan
seksual. Menurut Lahey (2012), korban pelecehan seksual dapat mengalami
kecemasan dan depresi. Suatu efek negatif yang tidak diharapkan terjadi setelah
kegiatan psikoterapi. Hal ini terkait dengan Kode Etik Psikologi Indonesia
Pasal 13 dan 15 (dalam Juneman, 2011), bahwa seorang psikolog harus bertanggung
jawab untuk menghindarkan klien dari bahaya. Hal ini sesuai dengan pandangan
Morrison-Valfre (2009) bahwa psikolog bertanggung jawab terhadap klien. Efek negatif
hubungan seksual bisa saja tetap terjadi, meskipun hubungan terjadi dengan landasan
“suka-sama-suka”. Seorang psikolog harus meminimalkan efek negatif, bahkan
ketika kemungkinannya sangat kecil. Penulis juga melihat bahwa terjadi suatu
bentuk “ancaman” terhadap klien di kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh
psikolog Timothy Naylor di Inggris. Klien diminta untuk tidak memberitahukan
hubungan seksual yang terjadi karena bisa saja klien kehilangan pekerjaan atau
hak asuh anaknya. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik
Psikologi Indonesia Pasal 13 dan 15 (dalam Juneman, 2011), subjek bisa saja
merasakan kecemasan karena kata-kata psikolog tersebut. Kecemasan timbul karena
klien tersebut merasa takut akan efek negatif bocornya rahasia tersebut.
Berdasarkan pandangan Pope
(dalam Bersoff, 1999), dalam hubungan seksual antara psikolog dan klien, suatu
hubungan lain terbentuk yaitu antara psikolog dan teman berhubungan seks.
Berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 16 (dalam Juneman 2011),
psikolog harus menghindari hubungan majemuk yang menyebabkan munculnya ekploitasi
atau efek negatif. Hubungan majemuk berupakan hubungan seksual merupakan
hubungan majemuk yang dapat menimbulkan efek negatif. Berdasarkan pandangan
Lahey (2012), pelecehan seksual dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, selain itu
dapat mengarah kepada kecemasan dan depresi. Selain itu, pelecehan seksual
dalam psikoterapi juga merupakan bentuk eksploitasi kekuasaan. Psikolog yang
memiliki hubungan intens dengan kliennya sehingga menyebabkan klien percaya
dengan segala tindakan psikolog. Meskipun tidak tergambar dengan jelas
penyebabnya, contoh kasus yang dijelaskan di latar belakang bisa saja tidak
ditimbulkan oleh perasaan “suka-sama-suka” melainkan karena bentuk eksplotasi
kekuasaan.
Tidak sedikit psikolog
yang menilai bahwa hubungan seksual antara psikolog dan klien memiliki
efek-efek positif (Pope dalam Bersoff, 1999). Akan tetapi, menurut Pope, tidak
ada penelitian dan data statistik yang signifikan yang menunjukkan bahwa
hubungan seksual antara klien dan mempunyai efek positif. Hal ini juga melanggar
Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 2 (dalam Juneman, 2011) bahwa seorang
psikolog harus bertindak berdasarkan pengetahuan yang diyakini benar oleh
komunitas psikologi. Jika tidak pernah ada penelitian dan data statistik yang
signifikan, maka suatu pandangan atau pendapat bisa saja suatu hal yang salah.
Sehingga, pandangan yang menyatakan bahwa hubungan seksual antara psikolog dan
klien memiliki efek-efek positif merupakan hal yang salah karena tidak terbukti
melalui penelitian. Psikolog yang melakukan hubungan seksual dengan klien
secara otomatis melakukan tindakan yang tidak berdasarkan kebenaran komunitas
psikologi. Hal ini bisa saja menimbulkan efek negatif, bukan efek positif
karena tidak ada pernah penelitian yang dilakukan. Penulis menilai bahwa keberadaan
penelitian untuk mencegah terjadinya efek negatif karena kebenaran yang salah.
Selain itu, pada salah satu contoh kasus, psikolog tersebut berusaha meminta
perusahaan asuransi klien membayar salah satu pertemuan seksual antara psikolog
dan klien tersebut, hal ini merupakan bentuk penipuan. Berdasarkan Kode Etik
Psikologi Indonesia (dalam Juneman, 2011), kode etik psikologi Indonesia tidak
bertentangan dengan hukum negara Indonesia. Oleh karena itu, psikolog Indonesia
tetap harus mematuhi hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Kasus ini tentu
merupakan suatu bentuk kode etik psikologi dan juga hukum di Indonesia
Hal ini menyebabkan
penulis mencapai suatu kesimpulan bahwa hubungan seksual pada psikoterapi
merupakan pelanggaran kode etik psikologi Indonesia. Seorang psikolog wajib
untuk melindungi kliennya dari segala ancaman, salah satunya adalah ancaman
pelecehan seksual oleh psikolognya. Meskipun kemungkinan munculnya kecil,
pelecehan seksual tetap tidak diperkenankan. Sekecil apapun suatu resiko, resiko
tetaplah sebuah resiko sehingga lebih baik dihindari. Oleh karena itu, hubungan
seksual dalam psikoterapi harus dihindari demi menjaga profesionalitas profesi
psikolog.
BAB
IV
SIMPULAN
DAN SARAN
4.1
Simpulan
Hubungan seksual antara
psikolog dan klien merupakan suatu hubungan majemuk yang dihindari karena
terbukti memiliki kemungkinan untuk menimbulkan dampak negatif terhadap klien.
Seorang psikolog harus melindungi klien dari ancaman dan harus meminimalkan
ancaman itu. Hal ini dilakukan dengan cara psikolog menghindari hubungan
seksual dengan klien. Hubungan seksual tetap harus dihindari, meskipun hubungan
terjadi karena perasaan “suka-sama-suka”. Ancaman tetap saja bisa terjadi
meskipun dengan kemungkinan lebih kecil. Selain itu, hubungan seksual antara
psikolog dan klien tidak didukung oleh kebenaran komunitas psikolog yang
diperoleh melalui penelitian. Penulis menyimpulkan bahwa hubungan seksual
antara psikolog dan klien melanggar kode etik psikologi Indonesia.
4.2
Saran
Menurut pandangan Pope (dalam
Garrett, 1998), ketertarikan seksual psikolog terhadap klien tidak dapat
dihindari. Namun, alangkah baiknya jika ketertarikan seksual tetap menjadi
ketertarikan semata dan tidak berakhir menjadi hubungan seksual. Beberapa cara
yang dapat dilakukan adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan serta
menempatkan seorang sekretaris sebagai pengawas untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan. Selain itu, psikolog harus memiliki self-control yang baik yang diperoleh melalui pemikiran positif.
Klien disarankan untuk
berpakaian dengan pantas untuk menghindari pendekatan seksual yang tidak
diinginkan dari psikolog. Klien juga harus belajar untuk tegas menolak hubungan
seksual. Jika psikolog mulai berperilaku mencurigakan, maka klien bisa saja
memutuskan untuk berpindah ke psikolog lainnya. Namun, tidak sedikit klien yang
merasa kebingungan terhadap gangguan yang dialaminya untuk merasa pasrah kepada
keputusan psikolog. Jika terjadi hal seperti ini, maka eksploitasi klien oleh
psikolog “nakal” akan sulit untuk dihindari.
Klien yang menjadi korban
pelecehan seksual oleh psikolog harus segera melaporkan kasus ini kepada pihak
berwajib dan kepada HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Hal ini bertujuan
untuk adanya tindakan lebih lanjut dari kedua organisasi tersebut. Melaporkan
kasus seperti ini memang merupakan hal yang memalukan. Namun, pelaporan kasus
tetap disarankan untuk dilakukan karena adanya tindakan lebih lanjut dari kedua
organisasi tersebut dapat mengurangi efek negatif yang dialami oleh korban pelecehan
seksual.
DAFTAR
PUSTAKA
BBC
News. (2000, Oktober 25). Psychologist
sex case raises regulation concern. Diunduh tanggal 7 Oktober 2012 dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/
health/990637.stm
Bersoff,
D.N. (1999). Ethical conflicts in
psychology (2nd ed.). Washington, DC: American Psychological Association.
Brazas,
S.M. (n.d.). Psychologist’s sexual misconduct may involve billing. Lawyers.com. Diunduh tanggal 7 Oktober
2012 dari http://medical-malpractice.lawyers.com/Psychologists-Sexual-Misconduct-May-Involve-Billing.html
Garrett,
T. (1998). Sexual contacts between patients and psychologists. The Psychologist. Diunduh www.thepsychologist.org.uk/.../thepsychologist%5C sexual.pdf
Juneman.
(2011, April 23). Kode etik psikologi Indonesia (terbaru) – HIMPSI, 2010 [Web
log post]. Diunduh tanggal 7 Oktober 2012 dari http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/04/23/kode-etik-psikologi-indonesia-terbaru-himpsi-2010/
Lahey,
B.B. (2012). Psychology an introduction (11th
ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Morrison-Valfe,
M. (2009). Foundations of mental health
care (4th ed.). St. Louis, MS: Mosby.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar