Jumat, 15 Maret 2013

attraction: scientific style


Attraction is a very mysterious thing to us humans. It is so mysterious that scientists really work hard to reveal the mystery behind it. One of the biggest questions is why are we attracted to a certain person and most of the time we are attracted to handsome and beautiful person. A documentary, that I watched during the last week's Sexual Behavior class, has revealed the answer that big question. Honestly, the documentary is so similar to the documentary that I watched during the Female Psychology class last semester. It almost explain the exact thing, there's only subtle differences between them. Actually, I'm not really that interested in writing my opinion again since you can simply just check my old stuff. But, because there's an assignment, I am forced to rewrite my opinion. That's not a really genuine reason to write to be honest.

The main point about the documentary that I watched at both class is we are attracted to good looking person because it's a reproduction strategy. So, the thing is we humans want to have perfect offspring and attractive face provide a clue towards good genes. Why? Because if you have an attractive face that means when you're still in your mother's belly, you probably grew up without any abnormalities. No virus, no bacteria, no alcohol, no poison, nothing dangerous that could harm you and not to forget probably also no inherited disease. Abnormalities during pregnancy could harm the baby's body and automatically ruin their genes. So, it might be a good idea for mothers to be very careful during pregnancy.

Actually, this is not a very surprising thing. Almost everyone in the world know that person with attractive face will have a beautiful offspring. There are so many examples around us, look at David and Victoria Beckham! Do you see how handsome and beautiful their children are? It is quite clear that those kids don't have any weird disease that might harm them. So, attractive face might be a strong predictor for healthy offspring.

This documentary also explain that women have to make sure their mate have enough money to protect them, especially during pregnancy. We know that women are vulnerable during pregnancy and would find it very difficult to work. They need resourceful men to protect and help them. Raising children is not an easy job and needs a lot of cash. This is why women must consider their partners' resource, specifically economic resource, when choosing their mate. They also usually consider their partners' personality. A bad father is of course dangerous for their children.

Well, that's all the documentaries were generally talking about. In my opinion, this quite makes sense for  me because the most important thing is that I want my children to be at least as tall me as me. That's why I really want to have a tall girl as my wife. Short girls how beautiful they are most of the time turn me off. But, choosing your future husband and wife sometimes doesn't always have to do with their outer appearance. Inner beauty is a very important component, too. Good personality is very important thing. It's a hell to have a wife as beautiful as Miss Universe if she has horrible personality.

In conclusion, if you have a beautiful wife with a great personality, then be grateful of what you have. If her appearance is not that great, then thank God women have make up.


"There are no ugly women, only lazy ones." - Helena Rubinstein

Selasa, 12 Maret 2013

silence is golden?


I think almost everyone knows about the meaning of "silence is golden" quote, but it is very difficult to do it in our daily life. We simply just love talking, we want other people to understand what are we thinking currently. We want to convey our feelings to them. We want to show other people that we're smart and intelligent by telling them information that we have currently. This all can be done through talking. Sometimes, people felt that they're a dumb person when they decided not to talk. There's a lot of negative attribution to silence, including in interview process.

In interviewing, especially in clinical setting, silence is considered a threat to the whole process. One of my greatest fears is that one day, as a psychologist, I have to meet clients that decided not to talk at all because they feel so embarrassed about their problems. If I couldn't make the client start talking, then I feel that the whole interviewing process has failed. I couldn't get any information from them to be discuss. Also, it's impossible to discuss anything with the client because he or she doesn't want to talk! How am I supposed to do? Let them to keep their silence?

Last Monday, I learned a valuable lesson from Madam Henny during the Interviewing Technique class. She told us that psychologist can show their empathy to the client's problem through silence. A warm glance to the client's eyes, a caring smile, and a genuine feeling to help the client is very important in interviewing process. In my opinion, the client could feel if the psychologist's feelings are genuine or not. Almost every human being, except probably psychopaths, have some sort of antenna that can pick up other people's feelings. And we need to remember that we could only share our deepest and most embarrassing secrets to the people we trust. If through the silence process the client feels that the psychologist is untrustworthy, then they will decide to keep silence.

The client will start talking when they feel much safer. They feel much safer when they know that the psychologist is there to help them. But sure, it would take a lot of time because sharing a dark secret is not an easy thing to do. So, it is very important to show through your face that you really care about their distress. I think it is important for us to practice how to smile and glance, especially as psychologist, you have to show a caring smile and warm glance even in the worst condition.

So the conclusion is quite simple silence is golden, even in interviewing process. We need to remember that empathy still could be felt and shown even in silence.

Minggu, 10 Maret 2013

interviewing in workplace and school setting


Wawancara adalah suatu hal yang tidak mungkin terpisahkan dari bidang ilmu psikologi karena alasan-alasan dari munculnya suatu perilaku dari seorang individu hanya dipahami oleh individu itu sendiri. Proses wawancara harus dilakukan untuk memahami pemikiran individu tersebut. Hal ini menyebabkan wawancara juga tidak terpisahkan dari psikologi industri dan organisasi serta psikologi pendidikan, yang merupakan bagian dari pengaplikasian psikologi dalam kehidupan sehari-hari. Psikologi industri dan organisasi dapat didefinisikan sebagai prinsip-prinsip psikologi yang diterapkan dalam kegiatan organisasi, khususnya kegiatan organisasi di dunia kerja. Psikologi pendidikan adalah penerapan prinsip-prinsip psikologi dalam dunia pendidikan, sehingga tentu akan lebih banyak diterapkan pada latar sekolah.

Wawancara dalam psikologi industri dan organisasi umumnya digunakan untuk proses seleksi dan penempatan karyawan. Hal ini terkait dengan prinsip psikologi bahwa kompetensi individu harus disesuaikan dengan jabatan yang akan dijalaninya. Wawancara berperan untuk menggali kompetensi individu tersebut, sehingga diharapkan kinerja individu tersebut benar-benar maksimal saat bekerja nantinya. Keberadaan tes bakat, minat, inteligensi, dan tes-tes formal dan informal lainnya tidak dapat menggantikan sepenuhnya peran wawancara karena maraknya kebocoran tes psikologis saat ini. Kebocoran tes dapat menyebabkan individu memahami cara kerja tes. Selanjutnya, individu melakukan faking good saat menjawab tes tersebut. Sehingga, hanya wawancara dapat menggali informasi mengenai individu lebih dalam dan lebih "murni" dari kebohongan individu.

Wawancara juga bersifat sangat fleksibel dan dapat dilakukan secara informal, khususnya dalam latar dunia pekerjaan. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari salah satu kelompok, seorang psikolog melakukan proses wawancara saat makan siang. Wawancara seperti ini terjadi ketika psikolog tersebut berusaha untuk merekrut karyawan baru yang jabatannya cukup tinggi, misalnya manajer. Namun, perlu diingat bahwa hal ini hanya dapat digunakan dalam latar dunia pekerjaan karena sangat tidak etis untuk dilakukan oleh seorang psikolog klinis.

Peran wawancara tidak sebatas dalam proses seleksi dan penempatan karyawan. Konseling, yang merupakan bentuk wawancara yang bersifat lebih personal, juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam dunia pekerjaan. Karyawan yang mengalami masalah dapat diberikan pelayanan konseling. Jika karyawan tersebut terlalu bermasalah, maka dapat disarankan mengunjungi psikolog klinis. Karyawan yang terancam mengalami pemecatan dan akan dipensiunkan juga perlu melalui proses konseling terlebih dahulu. Hal ini bertujuan supaya efek negatif pasca-pemecatan dan pensiun dapat minimal berkurang. Setelah memahami karakteristik individu tersebut, psikolog akan berusaha untuk mencari cara yang tepat.




Wawancara dalam dunia pendidikan lebih sering terjadi dalam bentuk proses konseling. Konseling dalam dunia pendidikan bertujuan supaya proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lebih baik. Misalnya, ketika seorang murid mengalami penurunan prestasi belajar, psikolog dapat menggali informasi dari murid tersebut melalui proses wawancara. Selanjutnya, setelah memperoleh informasi, psikolog dapat melakukan intervensi. Misalnya, murid tersebut menjadi korban bullying, psikolog tersebut dapat memberikan program intervensi juga terhadap pelaku bullying. Hal ini bertujuan agar masalah dapat terselesaikan secara menyeluruh.

Psikolog sekolah juga sering kali menggunakan konseling saat membimbing murid-murid untuk memilih jurusan yang dipilih saat perkuliahan. Hal ini sedikit mirip dengan prinsip psikologi industri dan organisasi bahwa harus terdapat kecocokan antara kompetensi dan jabatan. Dalam dunia pendidikan, murid tersebut harus sesuai antara minat, bakat, dan jurusan yang dipilihnya. Maraknya kasus salah jurusan menjadi pecutan tersendiri bagi dunia psikologi pendidikan dalam meningkatkan kualitas konseling karir saat masa SMA.

Penerapan wawancara tentu terjadi juga dalam pengembangan kurikulum, namun sayang sekali tidak banyak dibahas oleh kelompok yang melakukan presentasi. Menurut Bu Henny, kurikulum sekolah adalah suatu hal yang sifatnya confidential karena hal tersebut merupakan "produk dagangan" sekolah tersebut. Tentu proses pengembangan kurikulum adalah suatu rahasia bagi sekolah tersebut juga. Akan tetapi, saya tetap meyakini proses wawancara tidak terpisahkan dalam pengembangan kurikulum.

Berdasarkan uraian di atas, saya menyadari bahwa psikologi merupakan bidang ilmu yang memiliki banyak sekali peran dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, mungkin ada benarnya istilah "selama ada manusia, maka psikologi dapat bekerja di sana". Saya juga semakin menyadari bahwa wawancara adalah suatu alat vital bagi seorang psikolog, khususnya dalam mendeteksi kebohongan. Sehingga, saya, sebagai seorang calon psikolog, menyadari bahwa penting sekali untuk mempertajam keterampilan wawancara saya. Hal ini bertujuan supaya saat berpraktek sebagai psikolog di kemudian hari, saya memiliki amunisi yang kuat untuk menghadapi medan perang.

*Saya sejujurnya tetap tidak tertarik untuk menjadi seorang psikolog pendidikan atau industri dan organisasi.*

Rabu, 06 Maret 2013

about your sexual orientation

*This article is written in English to improve my English writing skills, feel free to criticize it*

Let's start this article by saying that defining a person's sexual orientation is a not simple thing to do. Some people say that sexual orientation is all about with whom you regularly have sexual intercourse with. Although it makes sense, I don't feel it provide us a whole picture about a person's sexual orientation. Some clinicians do define sexual orientation in this way because they feel it's more objective. Sexual attraction is sometimes felt by some people to be equal to sexual orientation, but it's not totally correct either. Research shows that it is possible for human to feel same-sex and opposite-sex attraction from time to time, although it only last for few seconds. It might not be a very nice thing for person, that felt attraction to both, to be defined as a bisexual. There are so many things that need to be considered before identifying a person's sexual orientation. Human sexual orientation is so complicated that in my opinion almost no one could comprehend it wholesomely. The vignettes below could probably give you an idea why defining a person's sexual orientation is a not easy.

A heterosexual woman that feels sexual attraction towards woman from time to time. She felt guilty of this feeling because she felt that this feeling is against what her religion taught her.

A gay that have been happily married for few years, but once in a while he drove to the city's red light district. There, he enjoys casual sex with woman once in a while and his partner acknowledge it.

A lesbian that is currently single, but she really wanted to have a baby. So, she decided to have a sexual intercourse with a male friend that she has known for years in order to have a baby.

A man that is married to woman and have sexual intercourse exclusively with her. But, late at night, he usually masturbates by watching gay porn.

A female that decided to not marry because of a certain reason, but she enjoys watching heterosexual and homosexual porn from time to time.

A man that is married to a woman with three children. He secretly identify himself as a homosexual, but decided not to never come-out as a gay.

In my opinion, the best way to define a person's sexual orientation is by asking directly to them. Sexual orientation is just too complicated to be understood and the only one that can understand it is you yourself. People around you don't have right to identify your sexual orientation, you decide what you want to be. You can be like a heterosexual that enjoys same-sex intercourse from time to time. You also can identify yourself as a homosexual that is happily married with a member of your opposite-sex. You can live as a closeted homosexual for your whole life. You can identify yourself as a heterosexual and never marry for your whole life. All decisions about your own sexual orientation are okay, as long as you are happy and you're practicing safe-sex.


In the end, you are the one that is going through your own life with all its problems. Other people also have their own life problems that they must be deal with. It is a very weird thing when someone dictates the right way to live when they also have more important things to deal with than your life. So, you should never let them do that to your life. You need to feel happy of what you choose and not to be affected by other people's opinion. Remember, the most important thing in your life is your own happiness.


"Happiness is not something ready made. It comes from your own actions." - Dalai Lama XIV

Senin, 25 Februari 2013

psikologi klinis anak dan dewasa

Beberapa universitas di Indonesia membagi dua program psikologi klinis mereka menjadi psikologi klinis anak dan dewasa. Menurut saya, alasan pembagian ini untuk memberikan ilmu yang lebih mendalam dalam masing-masing bidang. Hal ini membuat calon psikolog dapat memilih untuk lebih sering menghadapi klien anak atau orang dewasa, tergantung kenyamanan mereka. Anak-anak dan orang dewasa memiliki banyak sekali perbedaan dalam penanganannya. Hal ini mungkin juga menjadi alasan lain pembagian program tersebut.

Bagi saya, psikologi klinis anak merupakan suatu bidang yang cenderung saya jauhi. Mengapa? Karena saya tidak merasa nyaman menghadapi anak-anak. Saya merasa kesal setiap kali melihat mereka bergerak terlalu aktif kesana-kemari. Saya merasa kesal ketika mereka menangis dan berteriak. Saya adalah seseorang yang hanya mampu mencintai anak saya sendiri atau anak dari keluarga dekat saya. Hal ini menyebabkan saya tidak tertarik sama sekali untuk menjadi psikolog anak. Akan tetapi, tugas Teknik Wawancara kali ini sedikit mengubah pandangan saya mengenai dunia psikologi klinis anak. Perubahan ini tetap saya anggap tidak terlalu besar, hingga membuat saya tertarik untuk menjadi seorang psikolog anak. Namun, saya belajar untuk memandang psikologi klinis anak secara lebih positif.

Wawancara saya dengan seorang psikolog klinis anak, dalam rangka menyelesaikan tugas, cukup menginspirasi saya untuk mengubah pandangan saya. Sejujurnya, hal ini pertama kali saya alami sepanjang perjalanan perkuliahan saya. Menurut beliau, alasan beliau memilih untuk menangani klien anak adalah efek yang diberikan akan jauh lebih banyak. Beliau beranggapan bahwa klien anak yang ditangani sedini mungkin akan memberikan efek positif yang berlangsung jauh lebih lama. Hal ini ada benarnya ketika dibandingkan menghadapi klien lansia yang efek positifnya cenderung berlangsung lebih singkat dibandingkan klien anak. Pernyataan ini cukup menginspirasi saya karena saya tidak pernah berpikir hal seperti ini sebelumnya. Namun, beberapa jam setelah wawancara tersebut, saya merasa bahwa pernyataan ini tidak sepenuhnya benar karena efek positif itu tergantung dari perasaan masing-masing individu. Mungkin saja seorang klien lansia merasakan efek positif yang lebih besar daripada klien anak. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kualitas efek positif klien bisa lebih penting dibandingkan kuantitas berlangsungnya. Namun, kuantitas bukan berarti suatu hal yang bisa dilupakan begitu saja juga. Selain itu, bukankah semua klien memiliki kedudukan yang sama?

Selanjutnya, saya akan bergeser sedikit membahas mengenai psikolog klinis dewasa. Sejujurnya, saya tidak mendapatkan terlalu banyak hal yang benar-benar baru dari presentasi yang saya dengarkan di kelas. Saya sedikitnya sudah tahu seperti apa hal-hal yang mungkin saya hadapi nanti ketika menjadi seorang psikolog klinis dewasa melalui buku yang saya baca dan pengalaman yang sudah dibagikan oleh dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak membahas terlalu banyak mengenai hal ini. Menurut saya, hal yang paling penting yang saya butuhkan adalah pengalaman. Pengalaman untuk menjadi psikolog klinis dewasa tidak mungkin saya dapatkan selama menempuh pendidikan sarajana. Hal tersebut nanti saya dapatkan saat melanjutkan perkuliahan pascasarjana.

Namun, saya tetap menarik suatu pelajaran berharga dari presentasi yang saya dengarkan hari ini yaitu sebagai psikolog, kita harus tahu batasan kita sendiri. Jangan sampai kita merasa kelelahan ketika menghadapi suatu klien karena kita tidak membatasi diri kita dan terus menerus menerima klien. Selain itu, keterampilan-keterampilan seorang psikolog, khususnya wawancara dalam pembahasan ini, hanya dapat diasah melalui pengalaman. Oleh karena itu, jangan pernah menunda untuk melatih keterampilan wawancara kita. Kita perlu ingat bahwa waktu tidak bisa diputar kembali. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari karena kesalahan hari ini.


"You may delay, but time will not."
- Benjamin Franklin -

suatu "masalah" bagi pria

Ukuran penis menjadi salah satu kekhawatiran utama bagi banyak pria. Kekhawatiran ini wajar saja karena penis dianggap sebagai salah satu simbol maskulinitas, bahkan sejak zaman dahulu kala. Penggambaran penis sering terjadi dalam kesenian-kesenian purba. Penis selalu digambarkan dengan ukuran yang besar, mungkin masyarakat purba menganggap bahwa semakin besar penis, maka semakin besar kesuburan yang diberikannya. Pemikiran ini terbawa ke zaman modern dan membuat berbagai masalah dalam kehidupan pria.

Pria yang memiliki penis berukuran "kecil" sering dianggap tidak cukup maskulin, padahal belum tentu demikian. Kekhawatiran pria yang memiliki ukuran penis "kecil" mungkin serupa dengan kekhawatiran wanita yang memiliki ukuran payudara "kecil." Padahal, sebenarnya keduanya bukanlah suatu hal yang patut terlalu dikhawatirkan. Banyak pria berusaha untuk memperbesar penis yang terlihat terlalu "kecil" dengan berbagai  pengobatan, khususnya menggunakan pengobatan alternatif di Indonesia. Padahal, pembesaran penis bisa saja berbahaya bagi seorang pria. Hal ini serupa terjadi pada kaum wanita yang berusaha memperbesar payudaranya dengan menggunakan operasi plastik atau suntik silikon, padahal keduanya yang memiliki resiko tersendiri.

Menurut Zoya Amirin, M.Psi., ukuran penis pria tidak akan mempengaruhi terlalu banyak performa seksnya, kecuali jika penis tersebut memang terlalu kecil karena mengalami gangguan medis tertentu. Hal ini dapat dikonsultasi dengan dokter yang memang ahli dalam bidang reproduksi. Kekerasan penis menjadi faktor yang lebih penting dalam performa seks seseorang. Selain itu, beliau menambahkan bahwa sebenarnya letak g-spot dekat dengan mulut vagina, sehingga tidak perlu mempunyai ukuran penis sangat "panjang" untuk mencapainya.

Sebenarnya, penis yang terlalu besar bisa saja menyebabkan ketidaknyamanan bagi wanita saat berhubungan seksual. Vagina suatu organ yang elastis, tetapi mempunyai batasan tertentu. Sehingga, pria yang memiliki penis terlalu "besar" juga mempunyai permasalahan tersendiri. Akan tetapi, pemikiran bahwa penis yang "besar" adalah simbol keperkasaan merupakan suatu pemikiran yang sulit hilang begitu saja. Sebenarnya, masalah ini bisa saja dipandang sama dengan wanita yang menginginkan payudara yang berukuran "besar", suatu hal yang tidak terlalu vital, tetapi dianggap sebagai suatu hal yang sangat vital.

Pendidikan seks bagi pasangan yang sudah menikah sangat penting untuk menghilangkan mitos "ukuran penis terkait dengan kepuasan seksual" karena hal yang lebih penting adalah rasa cinta terhadap pasangan. Selain itu, variasi teknik seksual dapat digunakan untuk memberi warna dalam kehidupan seksual pasangan. Jadi jangan pernah ambil resiko untuk suatu hal yang belum jelas, khususnya pengobatan alternatif yang memang tidak ada bukti ilmiah. Jangan sampai datang ingin untung, pulang-pulang "buntung." Stay safe guys :)


The most important aspect of sex is love. You will still probably enjoy sex without love, but not as enjoyable as sex with affection to your spouse.

Selasa, 19 Februari 2013

rasa penasaran memulai segalanya

Sebelum mulai menulis tulisan ini, saya sempat membaca beberapa tulisan dari rekan-rekan saya dari kelas Perilaku Seksual. Pada umumnya, mereka membahas mengenai cinta dan keintiman. Bagi saya membicarakan cinta dan keintiman adalah sesuatu yang sangat aneh. Dalam diri saya akan selalu muncul perasaan yang geli yang sulit untuk saya jelaskan ketika membahas mengenai hal tersebut. Akan tetapi, bukan berarti saya adalah orang yang tidak dapat merasakan cinta dan keintiman. Namun, saya merasa "bukan saya banget", ketika membahas topik mengenai cinta. Apa alasannya? Mungkin saja saya adalah seorang individu yang memilih untuk merasakan cinta tanpa perlu menuangkan makna cinta tersebut dalam suatu tulisan.

Hal ini menyebabkan saya memutuskan untuk melawan mainstream dan membahas mengenai suatu topik lainnya yaitu seks dan pendidikan seks.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Manusia adalah makhluk seksual dan kita tidak bisa menyangkal kenyataan ini.

Manusia selalu merasa penasaran mengenai seks, tetapi pada saat yang bersamaan kita merasa tidak nyaman membicarakannya. Akan tetapi, pada saat ini, banyak sekali remaja Indonesia sudah pernah melakukan hubungan seksual, bahkan ada yang melakukannya secara rutin. Rasa penasaran membuat banyak remaja mulai mencoba melakukan hubungan seksual. Mereka memperoleh gambaran mengenai hubungan seksual melalui pornografi. Mereka ingin sangat penasaran terhadap sensasi yang dialami oleh para aktor dan aktris tersebut. Mereka ingin mencoba merasakan sensasi tersebut pada dunia nyata. Banyak remaja lainnya mendapat dorongan dari teman-teman sebayanya yang sudah berhubungan seksual secara rutin. Cerita-cerita dan mitos-mitos dari teman-teman sebaya tentu semakin menambah rasa penasaran dan juga keberanian mereka untuk melakukan hubungan seksual.

Rasa penasaran pun semakin bertambah ketika minimnya informasi mengenai seksualitas di sekitar mereka. Internet menjadi salah satu sumber informasi mengenai seksualitas bagi remaja. Akan tetapi, tidak semua informasi dari Internet itu adalah fakta, bahkan ada beberapa informasi yang cenderung menyesatkan. Orangtua yang merasa tidak nyaman membicarakan seksualitas dengan remaja sehingga tidak dapat diandalkan menjadi sumber informasi. Banyak orangtua merasa takut setelah membicarakan seksualitas dengan remaja, remaja tersebut akan menjadi terlalu aktif secara seksual. Padahal, banyak remaja berani melakukan hubungan seksual karena mereka tidak mengetahui resiko dari hubungan seksual tersebut. Tidak bisa dipungkiri memang ada remaja yang tetap berani melakukan hubungan seksual, meskipun mengetahui resiko-resikonya. Namun, menurut pandangan saya, lebih banyak lagi remaja yang tidak mengetahui resiko-resiko yang mengintai mereka. Sehingga, pemberian pendidikan seks kepada remaja sangat penting, diharapkan setelah memahami resiko-resikonya mereka dapat menunda hubungan seksual dan baru melakukannya setelah menikah.

Pendidikan seks pun suatu kontroversi tersendiri, salah satu pertanyaan terbesar adalah pendidikan seks seperti apa yang harus diberikan. Menurut Zoya Amirin, M.Psi., perkembangan seksual seseorang harus disesuaikan dengan usianya. Misalnya, remaja yang aktif berhubungan seksual layaknya suami-istri adalah perkembangan yang bermasalah. Mereka tentu tidak siap dengan resiko terjadinya kehamilan. Kehadiran bayi pada masa remaja akan menimbulkan masalah yang sangat banyak dalam kehidupan mereka. Selain itu, anak yang mengalami pemerkosaan pun juga akan mengalami perkembangan yang bermasalah. Alat reproduksi mereka masih belum berfungsi dengan baik dan timbulnya trauma bagi mereka dapat mempengaruhi keadaan psikologis korban. Hal ini membuat saya menarik simpulan bahwa pendidikan seksual yang baik sebaiknya mendorong perkembangan seksual yang lebih sehat bagi manusia. Ketika sudah terlanjur bermasalah diharapkan perkembangannya dapat terarah ke arah yang lebih sehat kembali.

Selanjutnya, menurut Henny E. Wirawan, M.Hum., Psi., pendidikan seks sebenarnya bisa mulai diberikan sedini mungkin tentu dimulai dari hal-hal kecil, misalnya mengajarkan anak untuk berpakaian terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar mandi. Beliau juga menambahkan pendidikan seks terbaik berasal dari orangtua. Hal yang mengkhawatirkan ketika anak  memperoleh informasi yang salah dari orang yang salah pula. Istilah bisa karena biasa mungkin juga berperan dalam pendidikan seks. Jika anak sudah terbiasa berbicara mengenai seksualitas dengan orangtuanya, maka mereka pun bisa dengan nyaman bertanya mengenai seksualitas dengan orangtuanya. Misalnya, anak bisa saja dapat dengan nyaman bercerita mengenai teman-temannya yang sudah aktif berhubungan seksual. Anak tersebut juga dapat menyatakan rasa penasarannya mengenai hal tersebut. Orangtua dapat dengan mudah mencegah anak tersebut untuk melakukan hubungan seksual pranikah dengan menjelaskan resiko-resikonya. Namun, yang umumnya terjadi adalah ketika anak menghadapi suatu masalah terkait dengan seksualitas, anak jarang membicarakannya dengan orangtua. Mereka merasa malu dan tidak nyaman membicarakan seksualitas dengan orangtua. Mereka akan biasanya bertanya kepada teman-teman sebayanya atau mencari informasi melalui Internet yang belum tentu memberikan benar. Hal ini bisa saja berujung ke hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya hubungan seks pranikah.

Simpulannya, orangtua tidak perlu malu lagi untuk berdiskusi dengan anaknya mengenai seksualitas karena seksualitas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. Orangtua tidak perlu malu bertanya terhadap ahli yang benar-benar memahami tentang seksualitas ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup. Ahli tersebut dapat membantu orangtua untuk mengetahui apa yang sebaiknya diajarkan terhadap anak sesuai dengan usianya dan bagaimana menjawab pertanyaan dengan lebih baik. Sehingga, tidak ada alasan lagi untuk menunda pendidikan seks terhadap anak sedini mungkin karena perkembangan seksualitas anak sama pentingnya dengan perkembangan lain mereka.






Seksualitas ketika dibicarakan dengan terhormat dan pantas bukanlah sesuatu hal yang memalukan, tetapi hal penting yang perlu dipahami oleh semua manusia.
Penulis